Para Mahasiswi Kesurupan Masal di Malam Puncak Kegiatan, Program Pengabdian Masyarakat Diwarnai Kisah Mistis

SANDIMA; Sejumlah mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di desa yang terletak di hutan dalam wilayah Tuban. Mereka berangkat dengan hati riang dan pulang membawa sedikit luka batin.
Firman sudah sibuk mempersiapkan segala perlengkapan sejak subuh agar siap ikut dalam program pelayanan masyarakat. Sebagai mahasiswa baru dari salah satu perguruan tinggi terkenal di Surabaya, ia begitu bergairah menjalani aktivitas ini. Lelaki dengan rambut acak-acakan ala anak gerilyawan itu pun telah merancang bagaimana nantinya bisa bersosialisasi dan menukar ide serta pengetahuannya dengan warga setempat.
Sama seperti ratusan mahasiswa lainnya, Firman sampai di desa tujuan ketika sudah mendekati tengah malam. Desa ini terletak di wilayah hutan Taman Nasional Gunung Ronggolawe. Kebanyakan hunian warga masih menggunakan lantai tanah dan dinding dari kayu. Bunyi dengungan burung hantu bergema seirama dengan erangan serigala hutan.
Mereka diajukan untuk menginap di sebuah rumah tua yang sudah lama tak ditempati oleh kepala kampung lokal. Sang kepala dengan sopan meminta supaya mereka tetap taat pada aturan tradisional saat melakukan aktivitas. Dia juga menyampaikan bahwa jika ada orang mencoba mengganggu, sebaiknya diartikan sebagai upaya mendapatkan kesenangan dalam bersosialisasi dan perlu waspada terhadap perilaku masing-masing individu. Khususnya bagi wanita yang sedang haid," tuturnya.
Berdasar petunjuk itu, para mahasiswa cukup tenang mengikuti rutinitas mereka selama satu minggu berikutnya. Meski demikian, hampir setiap malam terjadi beberapa gangguan kecil seperti ketukan di pintu atau suara tertawaan samar yang segera lenyap. "Kita anggap saja mereka ingin berteman," ungkap salah satu mahasiswa dari Jombang.
Kegiatan demi kegiatan seperti mengajar di sekolah, kerja bakti bersih desa, hingga sosialisasi kesehatan silih berganti dikerjakan. Meskipun ketukan dan tawa lirih tetap menghiasi pada malam hari hingga kegiatan mencapai penghujung acara. Pada malam jelang perpisahan, kelompok pengabdian masyarakat tersebut sepakat untuk menggelar syukuran bersama dengan warga di lapangan desa.
Barusan saja kami selesai shalat ketika berniat untuk makan bersama-sama, tiba-tiba salah satu teman wanita kami mengalami kejang," jelasnya. Ternyata, teman wanitanya itu tengah menstruasi. Sambil berkata-kata tidak masuk akal dan tingkah laku menjadi sangat emosional, dia terus melirik semua orang di sekitar ruangan. Seperti efek domino, insiden ini memicu beberapa mahasiswa lain juga ikut mengalaminya.
"Pertama-tama, hanya mereka yang sedang menstruasi saja yang terkena dampaknya. Namun, secara bertahap hal ini meluas dan mempengaruhi wanita-wanita lain," jelas Firman. Mulai dari beberapa orang awalnya, jumlah penderita serupa meningkat sampai nyaris seluruh mahasiswi mengalaminya. Di saat waktu makin larut malam, suasana menjadi semakin menyeramkan.
Desa yang semula hening itu tiba-tiba tumpah dengan keriuhan jeritan dari para mahasiswi yang kesurupan. Satu per satu sesepuh desa hingga tokoh ulama didatangkan untuk mengurai insiden kesurupan. Bersamaan dengan itu, mahasiswa laki-laki tak henti-hentinya membaca ayat suci untuk meredakan suasana yang kian terasa mengerikan.
Beragam jenis doa ditebarkan oleh para pemuka agama untuk menghentikan teror kesurupan tersebut. Kegaduhan mistis itu baru mereda menjelang azan subuh berkumandang. Dengan semua mahasiswi berangsur pulih dari kesurupan secara berkala. ”Alhamdulillah kami masih diberi kesempatan untuk pulang secara utuh. Tapi sejak itu saya lebih berhati-hati kalau ada kegiatan di luar kota,” terang Firman mengenang kejadian tersebut. (*)
Komentar
Posting Komentar